FENOMENA PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF ALQURAN DAN HADITS

Perkawinan Beda Agama- Indonesia- Alquran dan Hadits

Authors

  • Arsal Arsal
    Arsal90@gmail.com
    Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia
December 25, 2018

Downloads

Kasus perkawinan beda agama di Indonesia yang berpenduduk pluralis sesuatu yang sulit untuk dibendung. Hal ini dibukitkan dengan data yang diperoleh di era delapan puluhan terdapat 825 kasus[u1] . Fenomena ini terjadi ketika bangsa Indonesia telah mempunyai regulasi khusus tentang perkawinan, yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Hanya saja undang-undang tidak menjelaskan secara tegas dalam pasal khusus tentang larangan perkawinan ini. Larangan perkawinan seperti ini ada dijumpai dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tepatnya Pasal 40 dan 44. Meskipun demikian, perkawinan itu tetap saja terjadi karena pemerintah mengeluarkan payung hukumnya, yakni yurisprudensi yang ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan Mahkamah Agung (MA) nomor: 1400 k/Pdt/1986 yang dianggap sebagai kebijakan hukum untuk mengantisipasi kevakuman hukum. Seiring dengan itu, dalam konteks hukum Islam di Indonesia dijumpai pendapat ulama/pakar yang pro dan kontra terhadap perkawinan seperti ini. Berdasarkan permasalahan ini, maka fokus penelitian dalam tulisan ini menemukan bagaimana status perkawinan ini yang digali dari al-Qur`an dan Hadits. Kajian ini menitik beratkan kepada penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode berfikir induktif, deduktif, dan komperatif. Selanjutnya untuk menemukan jawaban dalam konteks hukum Islam, maka penelitian ini menggunakan tiga pendekatan sebagai dasar analisis, yaitu; Pertama, Pendekatan Sosio-Historik. Kedua, Pendekatan Content  Analisis (analisis isi). Ketiga, Pendekatan fiqh (Normative Legalistic Approach. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agama-agama yang berkembang dan dianut oleh warga Indonesia dapat diposisikan sebagai ahl al-kitâb.          Adapun hukum perkawinan yang dilakukan oleh penduduk Indonesia yang berbeda keyakinan, baik laki-laki maupun perempuan hukumnya  mubah (boleh) selama yang melangsungkan perkawinan terssbut memenuhi kriteri dalam, yakni muhshana